Apa Akibat Makan Uang Haram
FATAL! INI AKIBAT MEMAKAN DARI UANG HARAM
oleh Admin | Dec 28, 2023 | Inspirasi
Dalam agama Islam, ada dua jenis harta, yaitu harta halal dan harta haram. Harta halal adalah harta yang diperoleh dengan cara yang dibenarkan oleh syariat Islam, sedangkan harta haram adalah harta yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syariat Islam.
Hukum memakan dari uang haram adalah haram. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 168:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Akibat Memakan dari Uang Haram di Dunia
Memakan dari uang haram dapat menimbulkan berbagai akibat buruk bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat. Berikut adalah beberapa akibat memakan dari uang haram di dunia:
Pertama, terputusnya hubungan dengan Allah. Memakan dari uang haram dapat menyebabkan pelakunya terputus hubungan dengan Allah. Hal ini karena Allah SWT tidak akan menerima ibadahnya dan akan menjauhkannya dari rahmat-Nya.
Kedua, mengalami kerugian dan penderitaan. Memakan dari uang haram juga dapat menyebabkan pelakunya mengalami kerugian dan penderitaan di dunia. Hal ini karena harta haram tidak akan memberikan keberkahan dan akan membawa malapetaka bagi pemiliknya.
Akibat Memakan dari Uang Haram di Akhirat
Memakan dari uang haram adalah dosa besar. Pelakunya akan mendapatkan siksa yang pedih di akhirat. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أَكَلَ مِنْ رِبَا دِرْهَمٍ فَلَا يُقْبَلُ مِنْهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، وَمَنْ أَكَلَ مِنْ سُحْتٍ دِرْهَمًا فُتِحَ لَهُ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ النَّارِ، وَلَمْ يُغْلَقْ عَنْهُ حَتَّى يَأْكُلَ مِنْهُ مِثْلَهُ
“Barang siapa memakan riba satu dirham, maka tidak akan diterima darinya shalat selama empat puluh hari. Barang siapa memakan harta haram satu dirham, maka akan dibukakan baginya satu pintu dari pintu-pintu neraka, dan tidak akan ditutup darinya hingga ia memakan harta haram seperti itu.”
Pencegahan Memakan dari Uang Haram
Hal pertama yang harus dilakukan adalah memahami hukum memakan dari uang haram. Dengan memahami hukumnya, kita akan menyadari bahwa memakan dari uang haram adalah perbuatan yang dilarang dan akan menimbulkan akibat buruk.
Sebagai seorang Muslim, kita harus berusaha untuk mencari rezeki yang halal. Rezeki yang halal adalah rezeki yang diperoleh dengan cara yang dibenarkan oleh syariat Islam.
Ingatlah, bahwa setan selalu menggoda manusia untuk berbuat maksiat, termasuk memakan dari uang haram.Oleh karena itu, kita harus menjaga diri dari godaan setan dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Yuk, ikuti informasi seputar islam lainnya bersama kami di Rumah Zakat
Perasaan kamu tentang artikel ini ?
REPUBLIKA.CO.ID, Uang haram dalam Alquran dan hadits mempunyai istilah tersendiri. Akan tetapi, secara penggunaannya, uang haram tersebut secara garis besar memiliki persinggungan sama yaitu, uang yang dihasilkan dengan cara yang tak halal dan dari sumber yang tak halal pula.
Dalam kitab Zad al-Ma'ad, Ibn al-Qayyim al-Jauzi, menukil suatu riwayat tentang uang haram. Diceritakan, Abdullah ibn Rawahah diutus oleh Nabi untuk memungut zakat di lingkungan penduduk (Yahudi) Khaibar. Mereka bermaksud menyuap Abdullah.
Terang saja Abdullah marah dan menolaknya, seraya berkata, ''Apakah kalian mau memberi makan saya uang haram? Janganlah kecintaanku kepada Rasul dan kebencianku kepada kalian membuatku berlaku tidak adil,'' sambungnya lagi. Mereka mngangguk dan berkata, ''Sikap adil adalah kekuatan yang membuat langit dan bumi tetap tegak.''
Dalam riwayat di atas, uang haram itu dinamai al-suht, dari kata sahata, yashut yang berarti al-haram atau sesuatu yang tak ada kebaikan di dalamnya (al-ladzi la yubarak fih). Kata al-suht, menurut pakar bahasa al-Farra' bermakna 'lapar' atau 'kelaparan' (syiddat al-ju').
Ungkapan rajulun mashut menunjuk pada orang yang kelaparan yang makan apa saja, ia tidak pernah kenyang. Orang yang kelaparan cenderung mengambil dan makan apa saja secara membabi buta.
Kata al-suht, menurut pakar tafsir Ibn 'Asyur, mencakup semua uang atau pendapatan yang diperoleh secara tidak halal, seperti riba, suap, makan harta anak yatim, dan barang-barang hasil curian (al-maghshub). Yang paling besar dan paling buruk dari semua itu adalah suap (risywah).
Rasulullah SAW pernah ditanya tentang makna al-suht. Jawabnya, ''Al-Risywah fi al-hukm (uang suap (sogokan) dalam bidang hukum atau dunia peradilan.'' (Ibn Jaririr dari Umar ra).
Alquran juga mengingatkan bahwa uang haram itu, seperti halnya riba, tak ada kebaikan di dalamnya, yakni mamhuq (QS Al-Baqarah [2]: 276) dan mendatangkan siksa bagi tuannya.
Dalam salah satu fatwanya, Jadul Haqq Ali Jadul Haqq, mantan Syaikh al-Azhar, mengingatkan kaum Muslim agar menjauhkan diri dari uang haram (al-suht).
Caranya, kita mula-mula harus meninggalkan kebiasan buruk, mencari harta dengan cara-cara yang tidak halal seperti korupsi, manipulasi, dan melakukan praktik suap. ''Dan janganlah sebagian kamu memakan sebagian harta yang lain di antara kamu dengan cara yang batil.'' (QS al-Baqarah [2]: 188).
Seperti diterangkan dalam Alquran dan juga dalam banyak hadis, uang haram (al-suht) dan yang sejenis itu akan diperlihatkan oleh Allah kelak di akhirat. Firman-Nya, ''Barangsiapa berkhianat (korupsi), maka ia akan datang (menghadap Tuhan) membawa hasil korupsinya itu di hari kiamat.'' (QS Ali Imran [3]: 161)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan dalam syariat Islam, judi salah satu perbuatan yang dilarang dan haram hukumnya termasuk judi online. Judi termasuk dosa besar yang sangat berbahaya dan sangat besar dampak mudaratnya.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Miftahul Huda mengatakan, judi memicu permusuhan, kemarahan, hingga pembunuhan. Judi membuat seseorang menjadi malas mengerjakan ibadah serta jenuh hatinya dari mengingat Allah SWT.
"Selain membentuk tabiat yang jahat, berjudi dapat memicu seseorang jadi pemalas dan pemarah," kata Kiai Miftah dikutip dari mui.or.id, Jumat(26/7/2024).
Kiai Miftah menekankan, judi online juga dapat menyebabkan kemiskinan dan merusak hubungan rumah tangga. Hal ini akibat keinginan memenuhi nafsu untuk bermain judi, seseorang akan mempertaruhkan hartanya.
"Pada akhirnya dia melupakan kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya. Bahkan bagi penjudi berat terkadang dapat mempertaruhkan anak dan istrinya," kata dia.
Dia mengatakan, judi termasuk perbuatan haram dalam Islam. Hal ini karena permainan judi termasuk dalam kategori gharar, yaitu transaksi yang mengandung unsur ketidakpastian.
"Uang hasil judi haram untuk digunakan," ujarnya.
Kiai Miftah mengatakan, jika seseorang yang sudah dewasa (termasuk anak dan istri) telah mengetahui bahwa sesuatu yang dimakannya itu adalah sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT dan Rasulullah, maka hal itu wajib ditinggalkan, artinya jangan dimakan.
"Sebab, jika sesuatu yang haram dan diketahui bahwa itu berasal dari yang haram, maka kelak di akhirat akan dituntut," tuturnya.
Kiai Miftah menerangkan, darah yang mengalir dalam tubuh dari hasil sesuatu yang haram maka akan membentuk tubuh, jiwa dan tabiat yang tidak baik. Demikian juga, jika seorang diajak makan, dan ia mengetahui bahwa makanan yang dihidangkan dalam pertemuan tersebut haram, maka haram baginya untuk memenuhi ajakan tersebut.
“Seorang Muslim yang diundang oleh seseorang yang sebagian besar hartanya haram, maka ia makruh untuk memenuhi undangan tersebut, sebagaimana ia makruh untuk melakukan transaksi dengannya. Jika ia mengetahui bahwa makanan yang dihidangkan haram, maka haram baginya untuk memenuhi undangan tersebut," tegas Kiai Miftah.
Di masa Rasulullah SAW dan berabad-abad kemudian, emas dan perak masih berlaku sebagai alat tukar yang sah dan diakui di semua negara dan berbagai peradaban dunia, tanpa harus menunggu keputusan dan nilai kurs yang berlaku.
Sebab emas dan perak adalah alat tukar yang bersifat universal, tidak terikat dengan keadaan politik, sentimen pasar dan masalah lainnya.
Pengganti Dinar dan Dirham
Mula-mula uang kertas yang beredar merupakan bukti-bukti pemilikan emas dan perak sebagai alat atau perantara untuk melakukan transaksi. Dengan kata lain, uang kertas yang beredar pada saat itu merupakan uang yang dijamin 100% dengan emas atau perak yang disimpan di pandai emas atau perak dan sewaktu-waktu dapat ditukarkan penuh dengan jaminannya.
Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara langsung) sebagai alat pertukaran. Sebagai gantinya, mereka menjadikan 'kertas-bukti' tersebut sebagai alat tukar.
Pada zaman koin emas masih digunakan, terdapat kesulitan yang ditimbulkan yaitu kebutuhan atas tempat penyimpanan emas yang cukup besar. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, bermunculan jasa titipan koin emas (gudang uang) yang dilakukan oleh tukang emas.
Masyarakat menitipkan koin mereka ke gudang uang, dan pemilik gudang uang menerbitkan "kuitansi titipan (nota)" yang menyatakan bahwa mereka menyimpan sekian koin emas dan koin tersebut dapat diambil sewaktu-waktu. Tentu saja jasa tersebut ada biayanya.
Dengan berlalunya waktu dan semakin banyak nota titipan beredar, masyarakat menyadari bahwa mereka dapat melakukan transaksi jual beli hanya dengan menggunakan nota tersebut. Hal ini disebabkan karena mereka, para pemilik nota dan pedagang percaya bahwa mereka dapat mengambil koin emas di gudang uang sesuai jumlah yang tertera di nota titipan. Mereka percaya bahwa nota tersebut dijamin oleh koin emas yang benar.
Sampai titik ini, mungkin bisa dianggap "tidak ada masalah" karena jumlah nota beredar, dibackup sesuai dengan jumlah koin emas yang ada di gudang uang.
Tapi, semua mulai berubah saat ketamakan itu datang. Seiring berjalannya waktu, pemilik gudang uang menyadari secara empiris bahwa, tidak semua orang akan mengambil seluruh simpanannya dalam jangka waktu yang sama.
Katakanlah, dalam suatu waktu, hanya 10% dari total koin yang diambil oleh pemiliknya. Sisanya 90%, menumpuk, menganggur, menunggu bisikan untuk dipergunakan.
Berdasarkan kondisi tersebut, pemilik gudang uang mulai -secara diam-diam meminjamkan koin emas yang menumpuk tersebut kepada orang-orang yang membutuhkan modal dengan cara menerbitkan nota kosong, seolah-olah dijamin oleh emas, padahal tidak sama sekali, karena yang digunakan adalah koin emas para nasabah yang menitipkan emasnya.
Inilah awal dari istilah "menciptakan uang dari udara kosong". Selain meminjamkan, tentu mereka menarik bunga atas pinjaman tersebut.
Nota kosong pun beredar layaknya nota asli. Karena pemilik gudang mengatur sedemikian rupa supaya jumlah total nota kosong yang beredar tidak melebihi jumlah koin emas yang diambil oleh pemilik koin emas dari cadangan emas di gudang, sistem ini berlangsung terus menerus tanpa disadari. Inilah cikal bakal Bank Fractional.
Namun, karena jumlah total nota, baik yang asli ditambah yang palsu beredar sebenarnya melebihi jumlah emas sesungguhnya yang tersimpan di gudang uang, efek inflasi terjadi dan harga-harga merangkak naik secara tidak wajar.
Masyarakat mulai resah dan ada yang mulai menyadari sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Mereka pun mulai mengambil simpanan emas mereka dari gudang berdasarkan nota yang mereka miliki.
Namun apa yang terjadi?
Karena nota asli dan palsu sama sekali tidak dapat dibedakan, hanya mereka yang datang di awal-awal saja yang dapat mengklaim emasnya. Sementara mereka yang datang terlambat, sama sekali tidak dapat mengklaim emasnya karena memang sudah tidak ada atau sudahhabis. Inilah contoh awal dari kolapsnya Bank.
Sampai tahun 1971, seluruh negara di dunia sebenarnya masih menggunakan sistem uang kertas berbasis emas (atau dolar, karena dolar menjadi mata uang kunci yang dikaitkan kepada emas).
Tetapi setelah tahun 1971, hal yang jauh lebih buruk terjadi. Sistem uang kertas dilepas dari emas sehingga menjadi benar-benar uang kertas dalam arti kertas sesungguhnya, yaitu kertas yang dicetak begitu saja lalu dianggap sebagai uang dan tidak dijaminkan dengan emas apapun. Inilah yang disebut dengan uang fiat (fiat money).
Semua bermula dari dibatalkannya perjanjian Bretton Wood oleh Amerika. Perjanjian Bretton Wood dimulai tahun 1945. Perjanjian ekonomi ini dilakukan setelah Perang Dunia kedua. Pada masa itu, akibat perang, negara-negara di Eropa mengalami kebangkrutan (defisit) finansial akibat pembiayaan perang. Sebaliknya Amerika Serikat (AS) memiliki cadangan emas yang luar biasa melimpah, senilai $25 Milyar.
Karena kekayaan melimpah tersebut, Amerika dengan leluasa membuat perjanjian Bretton Wood yang pada intinya adalah mengkaitkan nilai dolar senilai $1=1/35 ons emas, serta menjadikan dollar sebagai mata uang kunci di dunia, sehingga semua negara wajib menggunakan dollar atau emas sebagai devisa.
Sebagai tambahan, dalam masa ini, rakyat Amerika dilarang mengklaim (menukarkan) dolarnya dengan emas. Emas dari klaim dolar hanya boleh beredar antara bank central dan pemerintah negara. Emas kini menjadi uang antar pemerintahan.
Selama beberapa waktu sistem ini bertahan dan berjalan lancar. Amerika yang kaya raya memiliki ruang untuk melakukan kebijakan yang inflatif, mulai mencetak dolar melebihi jumlah cadangan emasnya.
Selama beberapa waktu, hal ini terjadi, efek inflasi yang dihasilkannya membuat beberapa negara Eropa khawatir apakah Amerika dapat membayar emas-nya. Dimulai oleh Perancis yang mulai mengklaim emas atas cadangan dollar yang dimilikinya, negara-negara lain pun mulai ikut mengklaim emas mereka sehingga emas pun mengalir dari Amerika ke negara-negara lain.
Selama beberapa tahun, kejadian ini membuat stok emas AS menipis hingga tersisa sekitar $ 9 Milyar. Dengan cadangan yang berkurang jauh tersebut, Amerika khawatir mereka tidak dapat lagi memenuhi janjinya untuk membayar 1 ons emas dengan harga $35, karena banyaknya jumlah dollar yang beredar. Apalagi negara-negara lain terus mengklaim emas mereka.
Akhirnya, pada tahun 1971 AS secara sepihak membatalkan perjanjian Bretton Wood dan mulai menetapkan kebijakan uang fiat. Uang fiat ini, karena sejatinya tidak bernilai dan tidak ada yang mau menggunakannya, maka dibuatlah undang-undang yang disebut Legal Tender. Sebuah undang-unang yang memaksa rakyat suatu negara untuk menerima penggunaan uang fiat.
Kebijakan uang fiat tersebut akhirnya diikuti pula oleh seluruh negara di dunia. Seluruh mata uang resmi negara di dunia sekarang ini adalah uang fiat yang sama sekali tidak dibackup berdasarkan apa pun, kecuali kekuatan politik dan militer negara tersebut.
Ahmad Sarwat, Lc., MA