Perang Diponegoro

Perang Diponegoro

Intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta

Salah satu penyebab umum terjadinya Perang Diponegoro adalah intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta.

Terbaginya Kerajaan Mataram Islam menjadi tiga kekuasaan (Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran), pada abad ke-18 tidak lepas dari campur tangan Belanda.

Memasuki abad ke-19, situasi di Surakarta dan Yogyakarta semakin memprihatinkan.

Intervensi pemerintah kolonial terhadap pemerintahan lokal tidak jarang mempertajam konflik yang sudah ada atau justru melahirkan permasalahan baru di lingkungan kerajaan.

Hal ini juga terjadi di Yogyakarta, di mana konflik di keraton dimanfaatkan Belanda untuk menerapkan taktik adu domba.

Campur tangan pihak kolonial tidak hanya memicu perpecahan, tetapi juga membawa pergeseran adat dan budaya keraton yang tidak sesuai dengan budaya Nusantara.

Sejak Sultan Hamengkubuwono III memegang tumpuk pemerintahan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro sangat malu dan prihatin terhadap terjadinya konflik suksesi di keraton.

Bahkan, karena sang ayah sangat sekuler dan cenderung pada budaya Barat, Pangeran Diponegoro memillih meninggalkan aktivitas di keraton dan hanya melakukan audiensi kepada ayahnya pada hari-hari besar.

Baca juga: Siapa Saja Tokoh yang Membantu Perang Diponegoro?

Penobatan Pangeran Menol

Pada 16 Desember 1822, Sultan Hamengkubuwono IV meninggal secara mendadak di usia 18 tahun.

Residen Yogyakarta, Baron de Salis, pada awalnya meminta Pangeran Diponegoro untuk menggantikan, tetapi ia menolak.

KOMPAS.com - Perang Diponegoro adalah serangkaian pertempuran antara Pangeran Diponegoro melawan Belanda, yang berlangsung dari tahun 1825 hingga 1830.

Pangeran Diponegoro merupakan putra Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811).

Bermula di Yogyakarta, tempat terjadinya Perang Diponegoro meluas hingga ke banyak daerah di Jawa.

Oleh sebab itu, perlawanan Pangeran Diponegoro juga kerap disebut sebagai Perang Jawa.

Apa sebab umum dan sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro?

Baca juga: Perang Diponegoro: Penyebab, Strategi, dan Dampaknya

KOMPAS.com - Perang Diponegoro adalah serangkaian pertempuran antara Pangeran Diponegoro melawan Belanda, yang berlangsung dari tahun 1825 hingga 1830.

Pangeran Diponegoro merupakan putra Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811).

Bermula di Yogyakarta, tempat terjadinya Perang Diponegoro meluas hingga ke banyak daerah di Jawa.

Oleh sebab itu, perlawanan Pangeran Diponegoro juga kerap disebut sebagai Perang Jawa.

Apa sebab umum dan sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro?

Baca juga: Perang Diponegoro: Penyebab, Strategi, dan Dampaknya

Penobatan Pangeran Menol

Pada 16 Desember 1822, Sultan Hamengkubuwono IV meninggal secara mendadak di usia 18 tahun.

Residen Yogyakarta, Baron de Salis, pada awalnya meminta Pangeran Diponegoro untuk menggantikan, tetapi ia menolak.

Pangeran Diponegoro juga menolak kalau Belanda menunjuk Pangeran Menol, yang masih berusia dua tahun, naik takhta.

Ada dua alasan yang mendasari penolakan ini, yaitu karena usia dan latar belakang ibu Pangeran Menol.

Abai dengan pendapat Pangeran Diponegoro, tujuh hari setelah kematian Sultan Hamengkubuwono IV, pemerintah Hindia Belanda menobatkan Pangeran Menol sebagai sultan.

Pangeran Diponegoro merasa Belanda sudah terlalu banyak mencampuri urusan keraton dan tidak dapat dibiarkan lagi.

Oleh sebab itu, Pangeran Diponegoro mulai menyusun strategi untuk melakukan perlawanan.

Baca juga: Siapakah Nama Asli Pangeran Diponegoro?

Sebab khusus Perang Diponegoro

Sebab khusus terjadinya perlawanan Pangeran Diponegoro adalah pematokan tanah oleh Belanda di atas makam leluhur Pangeran Diponegoro.

Pada tahun 1825, Belanda dengan sengaja menanam patok-patok untuk membuat jalan di atas makam leluhur Pangeran Diponegoro.

Hal itulah yang membuat kemarahan Pangeran Diponegoro memuncak, dan menyatakan sikap perang terhadap Belanda.

Sebelum insiden patok tersebut, pada 1823, Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert diangkat sebagai residen Yogyakarta.

Tanpa diketahui sebabnya, tokoh Belanda ini dikenal sebagai sosok yang sangat anti terhadap Pangeran Diponegoro.

Ketiadaan pemimpin yang berwibawa di lingkungan keraton membuat para pejabat Belanda, termasuk Smissaert berbuat semaunya.

Smissaert bahkan selalu duduk di kursi yang disediakan untuk sultan ketika diadakan rapat resmi.

Baca juga: Keris Kiai Nogo Siluman, Pusaka Milik Pangeran Diponegoro

Konflik pribadi antara Pangeran Diponegoro dengan Smissaert semakin tajam sesudah peristiwa saling mempermalukan di depan umum dalam sebuah pesta di kediaman residen.

Kala itu, Pangeran Diponegoro terang-terangan menentang Smissaert. Hal itulah yang membuat Smissaert bekerjasama dengan Patih Danurejo untuk menyingkirkan Pangeran Diponegoro dari istana Yogyakarta.

Pada suatu hari di tahun 1825, Smissaert dan Patih Danurejo memerintahkan anak buahnya untuk memasang patok dalam rangka membuat jalan baru.

Pemasangan patok ini secara sengaja melewati pekarangan milik Pangeran Diponegoro di Tegalrejo tanpa izin.

Pangeran Diponegoro memerintahkan rakyat untuk mencabuti patok-patok itu karena di tanah tersebut terletak makam leluhurnya.

Namun, Patih Danurejo memerintahkan untuk memasang kembali patok-patok itu dengan dikawal pasukan Macanan (pasukan pengawal Kepatihan).

Baca juga: Reog Bulkiyo, Warisan Prajurit Pangeran Diponegoro

Pengikut Pangeran Diponegoro kemudian merespon dengan mencabuti patok-patok yang baru saja ditanam dan menggantinya dengan tombak-tombak mereka, sebagai simbol perlawanan terhadap Belanda.

Berita insiden patok ini dengan cepat menyebar ke masyarakat, dan setelah itu meletuslah Perang Diponegoro pada 20 Juli 1825.

Diponegoro merupakan seorang pangeran Jawa yang mempunyai pengaruh kuat dalam Kesultanan Jogjakarta. Beliau dikenali memiliki pelbagai alatan senjata yang menjadi lambang kekuasaan jasmani dan rohani.

Pangeran Diponegoro terkenal selalu membawa kerisnya. Beberapa keris yang dimilikinya adalah Keris Kiai Omyang (tersimpan di Museum Sasana Wiratama-Yogyakarta), Keris Kiai Wisa Bintulu (tersimpan di Gedong Pusaka Keraton Yogyakarta, dan Keris Kiai Nogo Siluman. Keris terakhir tersebut itulah yang paling terkenal kerana sempat hilang, namun ditemukan di Belanda dan sudah didaftarkan dengan nomor RV-360-8084.[1]

Sentot Prawirodirdjo, salah seorang Panglima Diponegoro, dicatat menurut suatu dokumen kesaksian berbahasa Jawa, Sentot mengaku melihat sendiri Pangeran Diponegoro menghadiahkan Keris Kiai Naga Siluman kepada Kolonel Cleerens, utusan Hendrik Merkus de Kock, ketika bertemu. Tulisan Sentot tersebut berhasil dibaca oleh pelukis Raden Saleh yang juga pernah melukis tentang Pangeran Diponegoro.[2] Keris ini kemudian oleh Cleerens menjadi persembahan hadiah kepada Raja Willem I pada tahun 1831. Setelah itu, Keris Kiai Nogo Siluman disimpan di Koninkelijk Kabinet van Zelfzaamheden. Setelah KKVZ dibubarkan pada tahun 1883, seluruh koleksi muzium ini tersebar ke berbagai muzium dan Keris Kiai Nogo Siluman kemudian tersimpan di Museum Volkenkunde Leiden.[3]

Penemuan dan pengembalian Keris Kiai Naga Siluman membutuhkan waktu yang lama. Pada tahun 1983, Duta Besar Belanda ke Indonesia, Lodewijk van Gorkom mengesahkan bahawa keris ini tersimpan di ruangan bawah tanah Rijksmuseum Amsterdam, dan meminta untuk dikembalikan. Penggantinya, yakni Frans van Dongen menulis surat kepada Pieter Pott, pengarah muzium nasional etnologi Belanda pada tahun 1985, meminta agar keris tersebut harus ditemukan dan dikembalikan dalam rangka peringatan 40 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Van Dongen kemudian menerima balasan surat dari Pott yang mengaku sudah menemukan keberadaan keris tersebut, namun ternyata Pott gagal mengenalpasti keris itu dengan betul.[4]

Pada tanggal 10 Mac 2020, Keris Kiai Nogo Siluman dikembalikan kepada Pemerintah Republik Indonesia secara langsung oleh Raja Willem-Alexander kepada Presiden Joko Widodo.[5]

Adapun keris lainnya adalah Keris Kiai Bromo Kedali dan tombak Kiai Rodhan yang diserahkan Pangeran Diponegoro kepada Pangeran Diponegoro II (Raden Mas Muhammad Ngarip/Abdul Majid), Keris Kiai Habit dan tombak Kiai Gagasono milik Raden Mas Joned, Keris Kiai Blabar dan tombak Kiai Mundingwangi milik Raden Mas Raib, Keris Kiai Wreso Gemilar dan tombak Kiai Tejo (Raden Ayu Mertonegoro), Keris Kiai Hatim dan tombak Kiai Simo milik Raden Ayu Joyokusumo, tombak Kiai Dipoyono milik Raden Ajeng Impun, dan tombak Kiai Bandung milik Raden Ajeng Munteng.[6]

Keris lain yang dianggap paling sakti adalah Keris Kiai Ageng Bondoyudo. Keris ini hasil peleburan dari tiga pusaka, yakni Keris Kiai Surotomo, tombak Kiai Barutobo, dan Keris Kiai Abijoyo. Keris Kiai Ageng Bondoyudo ini selalu dirawat oleh Pangeran Diponegoro sendiri hingga akhir hayatnya dan dikuburkan bersamaan dengan jasadnya, pada 8 Januari 1855.[6]

Pangeran Diponegoro juga memiliki tongkat yang dinamakan Kanjeng Kiai Tjokro, yang saat ini disimpan di Galeri Nasional Indonesia. Tongkat ini telah dikembalikan oleh Michiel dan Erica Lucia Baud, kepada Mendikbud Anies Baswedan pada tahun 2015.[7]

Tongkat ini memiliki simbol cakra sepanjang 153 sentimeter yang terletak di ujung tongkatnya. Tongkat ini diperoleh Pangeran Diponegoro dari hasil dari warga selama berziarah di selatan Jawa, termasuk Yogyakarta, pada tahun 1815.[8] Tongkat ini selalu dibawa oleh sang Pangeran setiap berziarah ke tempat suci untuk berdoa. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, salah satu panglimanya, yakni Pangeran Dipati Notoprojo, cucu Nyi Ageng Serang, memegang tongkat ini dan oleh Pangeran Dipati Notoprojo diberikan sebagai hadiah kepada Gubernur Jenderal J.C Baud pada tahun 1834 untuk merebut hati pemerintah Hindia Belanda. Tongkat ini kemudian disimpan oleh salah satu keluarga keturunan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jean Chretien Baud selama 181 tahun. J.C Baud adalah gubernur jenderal Hindia Belanda ke-44, yang berkuasa pada tahun 1834-1836.[7]

Tombak Kiai Rodhan adalah salah satu senjata pusaka Pangeran Diponegoro yang telah dikembalikan ke Indonesia tahun 1978 dan saat ini tersimpan. Tombak ini terbuat dari kayu dengan dilapisi benang hitam dan dipercaya dapat memberikan perlindungan dan peringatan datangnya bahaya. Pada mata tombak terdapat bagian yang dilapisi emas dan pada bagian pangkal matanya terdapat empat relung yang berhias permata, namun dua buah permatanya telah hilang ketika benda ini dikembalikan ke Indonesia.[7]

Tombak ini lepas dari genggaman Pangeran Diponegoro ketika ia disergap di pegunungan Gowong, Kedu, oleh pasukan gerak cepat ke-11 Mayor A.V Michiels. Tombak ini bersama dengan pelana kuda Pangeran Diponegoro dikirim ke Raja Belanda Willem I (1813-1840) sebagai rampasan perang.[7]

Diponegoro International Journal of Business (DIJB) is a biannually (June and December) peer-reviewed journal issued by the Department of Management, Faculty of Economics and Business, Universitas Diponegoro. DIJB aims to be the media for publishing empirical issues related to business studies.

DIJB invites manuscripts on several topics including marketing management, finance management, operation management, human resource management, innovation management, knowledge management, organizational behavior, organizational development, change management, international business, and Islamic business.

DIJB is nationally accredited (rank 2) based on the Decree of the General Director of Higher Education, Research, and Technology of the Ministry of Education, Culture, Research, and Technology of the Republic of Indonesia Number 105/E/KPT/2022.

��ࡱ� > �� i k ���� f g h ������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������ @ �� � bjbj�F�F ; �, �, ߴ j ' �� �� �� � � � � � � � x x x � �" �" �" 8 �" � L# d � �� � �# �# " �# �# �# �# �# �# �� � � � � � � $ G� R �� D � E x �E �# �# �E �E � x x �# �# K� �i �i �i �E � x �# x �# �� �i �E �� �i �i 6 �� � x x ,� �# �# P�cQ��� �" }[ � h� �� a� 0 �� �� � ݉ 5h 0 ݉ 8 ,� � � x x x x ݉ x ,� � �# � `/ 8 �i �7 � ,> � �# �# �# � � � � �" ei ^ � � �" T E R B E N T U K N Y A P R O P I N S I J A W A T E N G A H O l e h : D e w i Y u l i a t i m A b s t r a c t T h i s a r t i c l e e x p l a i n s t h e f o r m a t i o n o f C e n t r a l J a v a P r o v i n c e b y t r a c i n g t h e h i s t o r i c a l s o u r c e s o f C e n t r a l J a v a s i n c e t h e f i r s t e x i s t e n c e o f a d m i n i s t r a t i v e a u t h o r i t y i n t h i s r e g i o n . C e n t r a l J ava Province was juridically established in december 1929 and was effective on 1st January 1930. The formation of Central Java Province was aimed especially to support decentralization process, because in the first quarter of the 20th century the central government in Batavia had no more capability of handling all of its regions� problems in Indonesia, and to endorse the political will of the liberal group to fasilitate their political interests and businesses. Keywords: Desentralisasi, Propinsi Jawa Tengah. A. Pendahuluan Secara harafiah provinsi berarti bagian dari wilayah administratif suatu negara atau kerajaan yang dipimpin oleh seorang gubernur. Terbentuknya Propinsi Jawa Tengah tidak dapat terlepas dari potensi strategis wilayah ini baik secara geografis serta ekonomis, maupun politis. Secara geografis dan ekonomis wilayah Jawa Tengah, terutama Semarang, menjadi pusat jaringan jalan darat yang menghubungkan bagian barat dengan bagian timur Pulau Jawa, serta daerah pantai utara dengan daerah pedalaman. Beberapa jalan di Jawa Tengah sudah sangat tua, contohnya: jalan besar dari Semarang ke kerajaan-kerajaan dan keresidenan Kedu telah ada sejak awal abad ke-17, dan mungkin juga sebelum itu. Menurut catatan Rijklof Van Goens, seorang utusan gubernur jenderal Belanda di Batavia ke Mataram, ada tiga jalan utama dari Mataram ke pesisir utara, yaitu: pertama, jalan dari Mataram (berpusat di Pleret) menuju ke Semarang, yang merupakan rute termudah dan tercepat untuk sampai ke pintu gerbang tol di Taji; ke dua, jalan menuju ke arah Tegal, merupakan jalan yang sulit untuk sampai di pintu gerbang di Trayem; ke tiga, jalan menuju ke arah pintu gerbang tol di Bongor. Dalam perjalanannya dari Semarang ke Mataram, Rijklof Van Goens menggambarkan beberapa tempat penting yang dilewatinya yakni Semarang, Jatingaleh, Pudak Payung, Tengaran, Ampel, Ngambah, Bayalali, Slembi (pintu gerbang tol), Mlandingan, Gondangwinangun, Taji (pintu gerbang tol), dan Pleret (ibukota Mataram). Jalan-jalan itu juga digambarkan oleh Pieter Fransen pada tahun 1630, oleh Valentijn pada tahun 1726, dan oleh Van Imhoff pada tahun 1746. Di Sepanjang pesisir utara Jawa terdapat groote postweg (jalan raya) yang membentang dari Anyer di bagian barat sampai Panarukan di bagian timur Pulau Jawa. Pembangunan jalan raya ini diprakarsai oleh Daendels, yang menjabat gubernur jenderal Hindia Belanda dalam periode 1808-1811. Dari jalan raya ini terdapat beberapa jalan kecil atau jalan yang menuju daerah pedalaman. Selain dilalui oleh jalan raya yang menghubungkan antara bagian barat dan timur Pulau Jawa, Jawa Tengah juga menjadi pusat jaringan jalan kereta api yang dibangun sejak akhir tahun 1860-an. Peletakan jalan kereta api dilakukan pertama kali di Jawa Tengah, dengan pusatnya di Semarang, pada tahun 1867. Rute yang dibuka pertama kali yaitu rute dari Semarang ke daerah-daerah kerajaan di pedalaman. Kemudian pembangunan jalan kereta api diperluas ke seluruh Jawa. Peletakan jalan kereta api dari Semarang ke daerah-daerah kerajaan dan Kedu menjadi prioritas utama, karena daerah-daerah itu dipandang sebagai tempat-tempat yang berpenduduk padat dan menghasilkan produk-produk pertanian yang penting seperti gula, nila, dan kopi. Meskipun demikian, sarana transportasi yang tersedia pada saat itu hanyalah angkutan gerobag dengan ongkos pengangkutan yang mahal dan waktu perjalanan yang lama. Selain untuk mempermudah pengangkutan produk-produk dari daerah pedalaman ke pantai utara, kereta api juga diperlukan untuk memperlancar pengangkutan barang-barang import dari pelabuhan Semarang ke daerah-daerah di pedalaman. Sebelum dibangun jalan kereta api, pengangkutan produk-produk dari daerah pedalaman ke pelabuhan dan sebaliknya sangat terhambat oleh daerah perbukitan yang memisahkan antara kedua daerah itu. Selain terhambat oleh faktor geografis, pengangkutan produk-produk tersebut juga diperberat oleh ongkos yang semakin mahal. Ongkos pengangkutan dengan gerobag dari Surakarta ke Semarang pada tahun 1885 adalah f. 17 untuk 6 pikul (370 kg.), pada tahun 1860 menjadi f. 28, dan pada tahun 1861 menjadi f. 30. Selain menjadi pusat jaringan jalan darat, Jawa Tengah juga memiliki prasarana jalan laut, yang berpusat di pelabuhan Semarang, yang sejak abad ke-17 telah menarik keinginan kompeni dagang Belanda (Vereenigde Oost Indische Compagnie / VOC) untuk menguasainya. Keinginan kompeni itu untuk menguasai pelabuhan Semarang tidak terlepas dari potensi positif wilayah pedalamannya, yang menghasilkan produk-produk pertanian yang laku untuk dijual baik dalam perdagangan lokal, antarpulau, maupun internasional. Pelabuhan Semarang sangat berperan sebagai pintu gerbang bagi kegiatan eksport-import produk-produk dari daerah pedalaman seperti gula, kopi, nila, kapok, dan sebagainya. Seorang musafir Cina, Ong Tai Hae, yang pernah berkunjung ke Semarang pada tahun 1783, mengisahkan bahwa pelabuhan Semarang dikunjungi oleh banyak kapal dagang. Di pelabuhan ini perdagangan sangat ramai, dan produk-produknya juga amat melimpah. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dalam artikel ini disajikan pembahasan tentang sejarah pembentukan kekuasaan politik dan administratif di wilayah Jawa Tengah. C. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian sejarah. Dengan demikian metode yang dipergunakan adalah metode historis yaitu mencari, menemukan, dan menguji sumber-sumber sehingga dapat diperoleh fakta sejarah yang otentik dan kredibel. Dalam penulisan dilakukan penyusunan fakta-fakta yang masih fragmentaris itu ke dalam suatu sintesa yang sistimatis, utuh, dan komunikatif. Untuk mencapai hasil penulisan sejarah yang demikian, diperlukan suatu penelitian yang tidak saja berangkat dari pertanyaan-pertanyaan pokok tentang "apa, siapa, di mana, dan kapan", tetapi juga berdasar pada pertanyaan "bagaimana", "mengapa serta apa jadinya". Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan pokok adalah fakta sejarah serta unsur-unsur yang turut membentuk peristiwa di tempat dan pada waktu tertentu. Jawaban terhadap pertanyaan "bagaimana" merupakan rekonstruksi yang menjadikan semua unsur itu terkait dalam suatu deskripsi yang disebut sejarah. Jawaban terhadap pertanyaan "mengapa dan apa jadinya" akan menerangkan hubungan kausalitas (Taufik Abdullah, Abdurrachman Surjomihardjo, ed., 1985: xiv). Hasil seluruh kegiatan tersebut di atas dituangkan dalam bentuk tulisan sejarah. Sumber-sumber diperoleh dari berbagai perpustakaan yaitu Perpustakaan Wilayah Jawa Tengah, Perpustakaan Nasional di Jakarta, Arsip Nasional Jakarta, dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro B. Kekuasaan Politik di Jawa Tengah Sampai Masa VOC Potensi geografis dan ekonomis merupakan faktor pendorong utama bagi pembentukan kekuasaan-kekuasaan politis di wilayah Propinsi Jawa Tengah.. Meskipun gambaran tentang potensi-potensi geografis dan ekonomis itu sulit ditemukan dari sumber-sumber sejarah Indonesia kuno (seb

KOMPAS.com - Salah satu pusaka terkenal dari Pangeran Diponegoro berwujud sebuah tongkat.

Nama tongkat Pangeran Diponegoro adalah Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro (Cakra).

Tongkat sepanjang 153 cm tersebut memiliki simbol cakra di ujung atasnya.

Selama 179 tahun, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro disimpan oleh keturunan mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Belanda, dan baru diserahkan ke Indonesia pada 2015.

Tongkat Pangeran Diponegoro ini menarik perhatian banyak pihak karena keberadaannya diselimuti dengan mitos yang masih dipercaya sebagian orang hingga kini.

Berikut ini sejarah dan mitos tongkat Pangeran Diponegoro.

Baca juga: Keris Kiai Nogo Siluman, Pusaka Milik Pangeran Diponegoro

Menurut ahli sejarah Diponegoro asal Inggris, Peter Carey, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro diterima Pangeran Diponegoro dari seorang warga pada sekitar tahun 1815.

Konon, tongkat tersebut dibuat pada abad ke-16 untuk seorang raja Demak. Namun, tidak diketahui raja yang dimaksud dan siapa yang membuat tongkat ini.

Saat terjadi gejolak di Demak yang mengakibatkan runtuhnya kerajaan, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro jatuh ke tangan rakyat biasa, yang mewariskannya secara turun temurun.

Pada 1815, atau sekitar 10 tahun sebelum meletus Perang Diponegoro (1825-1830), tongkat itu dipersembahkan kepada Pangeran Diponegoro.

Sejak itu, Pangeran Diponegoro membawa Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro dalam setiap perjalanan spiritualnya ke berbagai gua dan tempat keramat di selatan Yogyakarta.

Antara 1825 hingga 1830, Pangeran Diponegoro mengobarkan perang terhadap Belanda, yang kemudian dikenal sebagai Perang Diponegoro atau Perang Jawa.

Pada Maret 1830, Perang Jawa usai setelah Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan oleh Belanda.

Baca juga: Mengapa Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro Sangat Terkenal?

Setelah penangkapan Pangeran Diponegoro, Tongkat Kanjeng Kiai Tjokro jatuh ke tangan Raden Mas Papak alias Raden Tumenggung Mengkudirjo.

Raden Tumenggung Mengkudirjo, yang kemudian hari dikenal sebagai Pangeran Adipati Notoprojo, merupakan cucu komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang.

Intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta

Salah satu penyebab umum terjadinya Perang Diponegoro adalah intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta.

Terbaginya Kerajaan Mataram Islam menjadi tiga kekuasaan (Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran), pada abad ke-18 tidak lepas dari campur tangan Belanda.

Memasuki abad ke-19, situasi di Surakarta dan Yogyakarta semakin memprihatinkan.

Intervensi pemerintah kolonial terhadap pemerintahan lokal tidak jarang mempertajam konflik yang sudah ada atau justru melahirkan permasalahan baru di lingkungan kerajaan.

Hal ini juga terjadi di Yogyakarta, di mana konflik di keraton dimanfaatkan Belanda untuk menerapkan taktik adu domba.

Campur tangan pihak kolonial tidak hanya memicu perpecahan, tetapi juga membawa pergeseran adat dan budaya keraton yang tidak sesuai dengan budaya Nusantara.

Sejak Sultan Hamengkubuwono III memegang tumpuk pemerintahan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro sangat malu dan prihatin terhadap terjadinya konflik suksesi di keraton.

Bahkan, karena sang ayah sangat sekuler dan cenderung pada budaya Barat, Pangeran Diponegoro memillih meninggalkan aktivitas di keraton dan hanya melakukan audiensi kepada ayahnya pada hari-hari besar.

Baca juga: Siapa Saja Tokoh yang Membantu Perang Diponegoro?

Penderitaan rakyat akibat penjajahan

Dominasi Belanda di Yogyakarta membuat rakyat menderita karena dijadikan sebagai objek pemerasan.

Pada waktu itu, pemerintah kerajaan mengizinkan perusahaan asing menyewa tanah untuk kepentingan perkebunan.

Pada umumnya, tanah ini disewa dengan penduduknya sekaligus. Alhasil, para petani tidak dapat mengembangkan hidupnya karena harus menjadi tenaga kerja paksa.

Beban mereka pun semakin berat karena diwajibkan untuk membayar berbagai macam pajak, seperti pajak tanah, pajak halaman pekarangan, pajak jumlah pintu, pajak ternak, pajak pindah nama, dan pajak menyewa tanah atau menerima jabatan.

Di samping itu, masih ada pajak yang ditarik di tempat pabean atau tol, di mana semua lalu lintas pengangkutan barang juga dikenai pajak.

Bahkan seorang ibu yang menggendong anak di jalan umum juga harus membayar pajak.

Melihat penderitaan rakyat akibat kekejaman Belanda, Pangeran Diponegoro semakin mantab untuk melakukan perlawanan.

Baca juga: Mengapa Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro Sangat Terkenal?